HAK
MERK
Merek adalah tanda
yang berupa gambar, nama, kata, huruf- huruf, angka- angka, susunan warna, atau
kombinasi dari unsur- unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan
dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.
HAK ATAS MEREK
adalah hak
ekslusif yang diberikan negara kepada pemilik Merek yang terdaftar dalam Daftar
Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek
tersebut atau memberikan ijin kepada pihak lain untuk menggunakannya.
Merek di bedakan atas :
a.
Merek Dagang:
merek digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang/beberapa
orang/badan hukum untuk membedakan dengan barang sejenis.
b.
Merek Jasa: merek
digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang/beberapa orang/badan
hukun untuk membedakan dengan jasa sejenis.
c.
Merek Kolektif:
merek digunakan pada barang/jasa dengan karakteristik yang sama yang
diperdagangkan oleh beberapa orang/badan hukum secara bersama-sama untuk
membedakan dengan barang/jasa sejenis.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek
Menimbang
:
a.
Bahwa untuk memajukan industri yang mampu bersaing dalam
lingkup perdagangan nasional dan internasional perlu diciptakan iklim yang
mendorong kreasi dan inovasi masyarakat di bidang Desain Industri sebagai
bagian dari sistem Hak Kekayaan Intelektual
b.
Bahwa hal tersebut di atas didorong pula oleh kekayaan budaya
dan etnis bangsa Indonesia yang sangat beraneka ragam merupakan sumber bagi
pengembangan Desain Industri
c.
Bahwa Indonesia telah meratifikasi Agreement Establishing the
World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia)
yang mencakup Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property
Rights (Persetujuan TRIPs) dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 sehingga
perlu diatur ketentuan mengenai Desain Industri
d.
Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, b, dan c perlu dibentuk Undang-undang tentang Desain Industri.
Mengingat
:
1.
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3274);
3.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement
Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi
Perdagangan Dunia), (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 57,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3564).
LATAR
BELAKANG UNDANG-UNDANG PERINDUSTRIAN
Sasaran pokok yang hendak dicapai
dalam pembangunan jangka panjang adalah tercapainya keseimbangan antara
pertanian dan industri serta perubahan-perubahan fundamental dalam struktur
ekonomi Indonesia sehingga produksi nasional yang berasal dari luar pertanian
akan merupakan bagian yang semakin besar dan industri menjadi tulang punggung
ekonomi. Disamping itu pelaksanaan pembangunan sekaligus harus menjamin
pembagian pendapatan yang merata bagi seluruh rakyat sesuai dengan rasa
keadilan, dalam rangka mewujudkan keadilan sosial sehingga di satu pihak
pembangunan itu tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan produksi, melainkan
sekaligus mencegah melebarnya jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin.
Dengan
memperhatikan sasaran pembangunan jangka panjang di bidang ekonomi tersebut,
maka pembangunan industri memiliki peranan yang sangat penting. Dengan arah dan
sasaran tersebut, pembangunan industri bukan saja berarti harus semakin
ditingkatkan dan pertumbuhannya dipercepat sehingga mampu mempercepat
terciptanya struktur ekonomi yang lebih seimbang, tetapi pelaksanaannya harus
pula makin mampu memperluas kesempatan kerja, meningkatkan rangkaian proses
produksi industri untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sehingga mengurangi
ketergantungan pada impor, dan meningkatkan ekspor hasil-hasil industri itu
sendiri. Untuk mewujudkan sasaran tersebut, diperlukan perangkat hukum yang
secara jelas mampu melandasi upaya pengaturan, pembinaan, dan pengembangan
dalam arti yang seluas-luasnya tatanan dan seluruh kegiatan industri. Dalam
rangka kebutuhan inilah Undang-Undang tentang Perindustrian ini
disusun.Pemerintah diarahkan untuk menciptakan iklim usaha industri secara
sehat dan mantap. Dalam hubungan ini, bidang usaha industri yang besar dan kuat
membina serta membimbing yang kecil dan lemah agar dapat tumbuh dan berkembang
menjadi kuat. Dengan iklim usaha industri yang sehat seperti itu, diharapkan
industri akan dapat memberikan rangsangan yang besar dalam menciptakan lapangan
kerja yang luas.
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5
TAHUN 1984 TENTANG PERINDUSTRIAN
Menimbang:
a.
Bahwa tujuan pembangunan nasional adalah untuk
mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yangmerata materiil dan spiritual
berdasarkan Pancasila, serta bahwa hakikat Pembangunan Nasional adalah
Pembangunan Manusia Indonesia seutuhnya, maka landasan pelaksanaan Pembangunan
Nasional adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b.
Bahwa arah pembangunan jangka panjang di bidang
ekonomi dalam pembangunan nasional adalah tercapainya struktur ekonomi yang
seimbang yang di dalamnya terdapat kemampuan dan kekuatan industri yang maju
yang didukung oleh kekuatan dan kemampuan pertanian yang tangguh, serta
merupakan pangkal tolak bagi bangsa Indonesia untuk tumbuh dan berkembang atas
kekuatannya sendiri;
c.
Bahwa untuk mencapai sasaran pembangunan di bidang
ekonomi dalam pembangunan nasional, industri memegang peranan yang menentukan
dan oleh karenanya perlu lebih dikembangkan secara seimbang dan terpadu dengan
meningkatkan peran serta masyarakat secara aktif serta mendayagunakan secara
optimal seluruh sumber daya alam, manusia, dan dana yang tersedia;
d.
Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas dan untuk
memberikan dasar yang kokoh bagi pengaturan, pembinaan, dan pengembangan
industri secara mantap dan berkesinambungan serta belum adanya perangkat hukum
yang secara menyeluruh mampu melandasinya, perlu dibentuk Undang-Undang tentang
Perindustrian.
Mengingat:
1.
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat
(2), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;
2.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1960 tentang Statistik (Lembaran
Negara Tahun 1960 Nomor 109,Tambahan Lembaran Negara Nomor 2048);
3.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok
Perkoperasian (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2832);
4.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan
Kerja (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2918);
5.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah (Lembaran NegaraTahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3037);
6.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun
1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
7.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1982
Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3234).
KONVENSI
INTERNASIONAL TENTANG HAK CIPTA
1.
Berner Convention (Konvensi Berner)
Berner
Convention atau Konvensi Berne tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra
merupakan persetujuan internasional mengenai hak cipta, yang pertama kali
disetujui di Bern, Swiss pada tahun 1886. Konvensi Bern mengikuti langkah
Konvensi Paris pada tahun 1883, yang dengan cara serupa telah menetapkan
kerangka perlindungan internasional atas jenis kekayaan intelektual lainnya,
yaitu paten, merek, dan desain industri. Konvensi Bern direvisi di Paris pada
tahun 1896 dan di Berlin pada tahun 1908, diselesaikan di Bern pada tahun 1914,
direvisi di Roma pada tahun 1928, di Brussels pada tahun 1948, di Stockholm
pada tahun 1967 dan di Paris pada tahun 1971, dan diubah pada tahun 1979. Pada
Januari 2006, terdapat 160 negara anggota Konvensi Bern. Sebuah daftar lengkap
yang berisi para peserta konvensi ini tersedia, disusun menurut nama negara
atau disusun menurut tanggal pemberlakuannya di negara masing-masing.
Konvensi
Bern, sebagai suatu konvensi di bidang hak cipta yang paling tua di dunia (1
Januari 1886), keseluruhannya tercatat 117 negara meratifikasi. Belanda, pada
tanggal 1 November 1912 juga memberlakukan keikutsertaannya pada Konvensi Bern,
selanjutnya menerapkan pelaksanaan Konvensi Bern di Indonesia. Beberapa negara
bekas jajahan atau di bawah administrasi pemerintahan Inggris yang
menandatangani Konvensi Bern 5 Desember 1887 yaitu Australia, Kanada, India,
New Zealand dan Afrika Selatan.
Objek perlindungan hak cipta dalam konvensi ini
adalah: karya-karya sastra dan seni yang meliputi segala hasil bidang sastra,
ilmiah dan kesenian dalam cara atau bentuk pengutaraan apapun. Suatu hal yang
terpenting dalam konvensi bern adalah mengenai perlindungan hak cipta yang
diberikan terhadap para pencipta atau pemegang hak. Perlindungan diberikan
pencipta dengan tidak menghiraukan apakah ada atau tidaknya perlindungan yang
diberikan. Perlindungan yang diberikan adalah bahwa sipencipta yang tergabung
dalam negara-negara yang terikat dalam konvensi ini memperoleh hak dalam luas
dan berkerjanya disamakan dengan apa yang diberikan oleh pembuat undang-undang
dari negara peserta sendiri jika digunakan secara langsung perundang-undanganya
terhadap warga negaranya sendiri. Pengecualian diberikan kepada negara
berkembang (reserve). Reserve ini hanya berlaku terhadap
negara-negara yang melakukan ratifikasi dari protocol yang bersangkutan. Negara
yang hendak melakukan pengecualian yang semacam ini dapat melakukannya demi
kepentingan ekonomi, sosial, atau cultural.
2.
UCC (Universal Copyright Convention)
Konvensi
Hak Cipta Universal (Universal Copyright Convention), yang diadopsi di Jenewa
pada tahun 1952, adalah salah satu dari dua konvensi internasional utama yang
melindungi hak cipta, yang lain adalah Konvensi Berne. UCC ini dikembangkan
oleh Bangsa, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Pendidikan Amerika sebagai
alternatif untuk Konvensi Berne bagi negara-negara yang tidak setuju dengan
aspek dari Konvensi Berne, namun masih ingin berpartisipasi dalam beberapa
bentuk perlindungan hak cipta multilateral. Negara-negara ini termasuk
negara-negara berkembang dan Uni Soviet, yang berpikir bahwa perlindungan hak
cipta yang kuat yang diberikan oleh Konvensi Berne terlalu diuntungkan Barat
dikembangkan negara-negara pengekspor hak cipta, dan Amerika Serikat dan
sebagian besar dari Amerika Latin. Amerika Serikat dan Amerika Latin sudah
menjadi anggota dari konvensi hak cipta Pan-Amerika, yang lebih lemah dari
Konvensi Berne. Berne Konvensi menyatakan juga menjadi pihak UCC, sehingga hak
cipta mereka akan ada di non-konvensi Berne negara.
Universal Copyright Convention mulai berlaku pada
tanggal 16 September 1955. Konvensi ini mengenai karya dari orang-orang yang
tanpa kewarganegaraan dan orang-orang pelarian. Ini dapat dimengerti bahwa
secara internasional hak cipta terhadap orang-orang yang tidak mempunyai
kewarganegaraan atau orang-orang pelarian, perlu dilindungi. Dengan demikian
salah satu dari tujuan perlindungan hak cipta tercapai. Dalam hal ini
kepentingan negara-negara berkembang diperhatikan dengan memberikan batasan-batasan
tertentu terhadap hak pencipta asli untuk menterjemahkan dan diupayakan untuk
kepentingan pendidikan, penelitian dan ilmu pengetahuan. Konvensi bern menganut
dasar falsafah eropa yang mengaggap hak cipta sebagai hak alamiah dari pada si
pencipta pribadi, sehingga menonjolkan sifat individualis yang memberikan hak
monopoli. Sedangkan Universal Copyright Convention mencoba untuk
mempertemukan antara falsafah eropa dan amerika. Yang memandang hak monopoli
yang diberikan kepada si pencipta diupayakan pula untuk memperhatikan
kepentingan umum. Universal Copyright Conventionmengganggap hak cipta
ditimbulkan oleh karena adanya ketentuan yang memberikan hak seperti itu kepada
pencipta. Sehingga ruang lingkup dan pengertian hak mengenai hak cipta itu
dapat ditentukan oleh peraturan yang melahirkan hak tersebut.
No comments:
Post a Comment